Posted by : Kira's Blog
Rabu, 04 Mei 2011
Mengapa hipertensi 'akrab' dengan gagal ginjal? Bisa jadi belum banyak yang memahami hipertensi dapat menjadi pemicu utama terjadinya penyakit ginjal dan gagal ginjal. Begitu juga sebaliknya.
Saat fungsi ginjal terganggu, tekanan darah cenderung meningkat sehingga menimbulkan hipertensi. Selama ini hipertensi dikenal sebagai faktor risiko yang sangat berpengaruh bagi terjadinya serangan jantung dan penyakit pembuluh darah lainnya. Baru sebagian kecil masyarakat yang mengetahui itu.
Fungsi utama ginjal mengeluarkan sisa-sisa metabolisme dan menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit (garam) tubuh melalui urin. Ginjal juga memproduksi hormon yang memengaruhi fungsi dari organ-organ lainnya. Antara lain hormon yang merangsang produksi sel darah merah dan yang membantu menyeimbangkan tekanan darah. Juga, mengontrol metabolisme kalsium.
Adanya kerusakan ginjal pada bagian tertentu akan merangsang produksi hormon renin yang akan merangsang terjadinya peningkatan tekanan darah hingga mengakibatkan terjadinya hipertensi yang bisa menetap.
Selain itu, saat ginjal rusak pengeluaran air dan garam akan terganggu yang mengakibatkan isi rongga pembuluh darah meningkat sehingga menyebabkan hipertensi.
Naiknya tekanan darah di atas ambang batas normal bisa merupakan salah satu gejala munculnya penyakit pada ginjal, selain gejala-gejala lainnya seperti berkurangnya jumlah urin atau sulit buang air kecil, penimbunan cairan, serta meningkatnya frekuensi berkemih terutama di malam hari.
Gangguan fungsi ginjal akibat hipertensi dapat berupa penyakit ginjal akut, penyakit ginjal kronis, hingga gagal ginjal terminal, dimana ginjal tidak lagi dapat menjalankan sebagian atau seluruh fungsinya.
Bahkan hipertensi penyebab kejadian gagal ginjal tahap akhir nomor dua terbanyak setelah diabetes mellitus.
Menurut survei Riskesdas pada 2007, prevalensi hipertensi di Indonesia mencapai 31,7%. “Pada orang yang berusia di atas 50 tahun, lebih dari 50% mengalami hipertensi,” kata Suhardjono, Ketua Perhimpunan Nefrologi Indonesia.
Sedangkan prevalensi diabetes di Indonesia kira-kira 13,%% mereka. Yang berusia di atas 55 mengalami diabetes dan 15,3% masuk kategori pra-diabetes.
Mengutip riset, Suhardjono mengatakan pasien yang mengalami gagal ginjal terminal (harus melakukan cuci darah atau hemodialisis) hanya sebesar 20% dalam jangka lima tahun. Bandingkan dengan pasien kanker payudara yang memiliki kemampuan bertahan hidup hingga 60% dalam durasi yang sama.
Pasien gagal ginjal terminal juga membutuhkan biaya yang besar untuk bertahan hidup. Di Amerika Serikat diperkirakan biaya untuk cuci darah mencapai US$ 80.000 per tahun per orang. “Di Indonesia biayanya antara Rp 60 juta – Rp 100 juta per orang per tahun,” kata Prof. Djon.
Menurut Prof. Djon, pasien penyakit ginjal kronis tahap awal mempunyai risiko 5 sampai 10 kali lipat meninggal karena kejadian jantung dibandingkan pasien gangguan jantung terminal yang harus menjalani dialisis.
“Mereka yang menjalani hemodialisis di usia muda peluang hidupnya makin kecil. Ibaratnya seperti orang berusia 70 tahun,” imbuh Prof Djon.
Pasien penyakit ginjal kronis umumnya meninggal bukan karena harus menjalani cuci darah, jika sudah sampai stadium 5 atau tahap akhir, namun gangguan pada kardiovaskularlah yang acapkali menimbulkan kematian.
Dr. Dharmeizar menjelaskan saat seseorang mengalami kelainan ginjal, maka akan terjadi kelainan-kelainan yang bisa menyebabkan kerusakan di jantung, seperti anemia (kekurangan darah), toksin uremik, hiperkalemia (kadar kalium darah tinggi), malnutrisi, peradangan kronis, yang akhirnya menyebabkan gangguan metabolisme kalsium dan folat sehingga lama-lama menyebabkan kerusakan di jantung.
"Karena penyakit ginjal kronis nyaris tanpa gejala, kebanyakan pasien datang ke dokter saat sudah mengalami komplikasi atau keluhannya sudah muncul, misalnya muntah-muntah atau mengalami kelebihan cairan di paru-parunya yang membuatnya sesak napas, merasa mual, pucat dan bengkak-bengkak,” ujarnya.
Mengingat penyakit ginjal kronis minim gejala, hal yang bisa dilakukan untuk deteksi dini adalah dengan mengenali faktor risikonya.
"Teliti lagi, apakah dalam riwayat keluarga ada yang hipertensi, diabetes mellitus, jantung atau stroke. Jika ya, mulai usia 30 harus periksa kondisi fisiologis ke dokter umum. Lakukan pengukuran tensi darah, urin dan kadar gula darah dengan harga terjangkau,” saran dr. Dharmeizar.
Perhatikan tanda dan gejala yang muncul. Jika saat bangun tidur Anda mendapati bengkak pada kaki dan kelopak mata, harus dicurigai ada gangguan fungsi ginjal.
Dr Dharmeizar menjelaskan, penyakit ginjal kronis bisa dideteksi dengan tes urin sederhana untuk mengukur kadar protein dalam urin. Bila protein dalam urin (proteinuria) positif dan terjadi selama lebih dari 3 bulan maka orang tersebut bisa dikatakan mengalami penyakit ginjal kronis.
Ginjal sehat mengambil limbah keluar dari darah tetapi meninggalkan protein. Gangguan ginjal gagal untuk memisahkan protein darah yang disebut albumin dari limbah. Pada awalnya, hanya sejumlah kecil albumin dapat bocor ke dalam urin, dimana kondisi ini dikenal sebagai mikroalbuminuria, tanda gagal fungsi ginjal.
Seiring memburuknya fungsi ginjal, jumlah albumin dan protein lain dalam urin meningkat, yaitu kondisi yang disebut proteinuria. Penyakit ginjal kronis hadir ketika lebih dari 30 miligram albumin per gram kreatinin diekskresikan dalam urin, dengan atau tanpa eGFR menurun.
“Bila pada tes urin ditemukan kadar kreatinin positif maka orang tersebut sudah mengalami penyakit ginjal kronis tingkat lanjut,” kata dr Dharmeizar.
Kreatinin adalah produk limbah yang dibentuk oleh kerusakan sel-sel otot normal. Ginjal sehat mengambil kreatinin darah dan memasukkannya ke dalam urin untuk meninggalkan tubuh. Ketika ginjal tidak bekerja dengan baik, kreatinin menumpuk dalam darah. Sebuah eGFR dengan nilai di bawah 60 mililiter per menit (mL/menit) menandakan seberapa kerusakan ginjal telah terjadi. Nilai tersebut berarti ginjal seseorang tidak bekerja pada kekuatan penuh.